WEB BLOG
this site the web

Hidayatullah II dari Banjar

Sultan Hidayatullah II bin Sultan Muda Abdurrahman (lahir 1822) adalah salah seorang pemimpin perang banjar, setelah beliau diangkat langsung oleh Sultan adam menjadi Sultan Banjar untuk meneruskan pemerintahanKesultanan Banjar menggantikan sang kakek (Sultan Adam). Hidayatullah II menjadi pemimpin rakyat Banjar antara tahun 1859 sampai 1862.

Ayah beliau adalah Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sedangkan ibunda beliau adalah Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata yang juga bangsawan keraton Banjar (tutus). Pangeran Hidayatullah II mewarisi darah biru keraton Banjar (tutus) dari kedua orangtuanya, karenanya menurut adat keraton sebagai kandidat utama sebagai Sultan Banjar dibandingkan Pangeran Tamjidullah II yang berasal dari isteri selir yang bukan tutus (bangsawan keraton Banjar). Kandidat yang lain adalah Pangeran Prabu Anom anak Sultan Adam dengan Nyai Ratu Komalasari, pangeran ini diasingkan Belanda ke Jawa. Kedua kandidat yang terakhir kurang disukai oleh rakyat dan kalangan istana.

Pangeran Hidayatullah II adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya ke Cianjur. Di sana beliau tinggal bersama dengan keluarga Sultan Kesultanan Pasir yang juga diasingkan dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah II wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.

Keturunan Pangeran Hidayatullah II masih menyimpan Surat Wasiat Sultan Adam Untuk Pangeran Hidayatullah II yang Naskah Aslinya tersimpan baik oleh Ratu Yus Roostianah Keturunan garis ke-3 / cicit dari Pangeran Hidayatullah II bertanggal 12 bulan Shofar 1259, sebagai saksi pertama Mufti Haji Jamaludin dan saksi kedua pengulu Haji Mahmut. Dalam surat tersebut Sultan Adam berwasiat kepada keturunannya, segala raja-raja (raja/penguasa lokal) dan rakyat Banjar untuk me-Raja-kan Pangeran Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya dan memberikan daerah kekuasaan (Kota Banjarbaru) yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi sebagian Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru (Distrik Riam Kanan), dan seluruh Kabupaten Tapin(Distrik Margasari dan Banua Ampat).

Pada 9 Oktober 1856, setelah mengangkat Tamjidullah II pada 8 Agustus 1852 sebagai Sultan Banjar, Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai Mangkubumi Banjar untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah II yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton serta telah mendapat wasiat dari Sultan Adam sebagai Sultan Banjar.

Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah II menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai Mangkubumi Banjar.

Pada

18 April 1859 terjadi Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Hindia Belanda dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Pangeran Hidayatulah II. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar sebagai hasil kesepakatan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah II dan Kolonel Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan Siasat menempatkan Pangeran Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar dan menurunkan Pangeran Tamjidullah II karena Belanda menilai penyerangan tambang batu bara mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar. Pangeran Hidayatulllah II dinilai sebagai tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang mereka sehingga harus dijinakkan. Kepemimpinan rakyat Banjar beralih kepada Hidayatullah II walaupun akhirnya pada 5 Februari 1860 Gouvernement-Comissaris F.N.Niewenhuyzen mengambil tindakan pemecatan terhadap Mangkubumi tersebut. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.
Dalam bulan Juni 1861 Pangeran Hidayatullah berada di Gunung Pamaton (Kabupaten Banjar). Rakyat Gunung Pamaton menyambut kedatangan Pangeran Hidayatullah dan rakyat membuat benteng pertahanan sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkap Pangeran Hidayatullah. Sementara itu Pangeran Hidayatullah berunding dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di kampung Dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana akan melakukan serangan umum terhadap kota Martapura. Para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melakukan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar. Serangan umum ini direncanakan dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi rencana itu bocor ke tangan Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Pangeran Hidayatullah. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie. Mayat-mayat pasukan Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman. Pambakal Intal berhasil menguasai senjata serdadu Belanda ini. Untuk menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen Mayor Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura meminta bantuan kepada Residen G.M. Verspyck di Banjarmasin. Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang van Os yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya dilakukan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang bocor ke pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit melakukan serangan sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran terjadi pula di Kuala Tambangan. Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat. Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di sekitar daerah Mataraman, sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus berkobar. Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran di Gunung Pamaton tersebut banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris di perutnya. Serangan bulan Juni 1861 terhadap benteng Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh pimpinan perang yang gagah berani, selain Pangeran Hidayatullah terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara. Selain itu terdapat pula pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan Benteng Gunung Madang, dan saat itu ikut mempertahankan Benteng Gunung Pamaton. Dalam bulan Agustus 1861 Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan. Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Pangeran Hidayatullah dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena rakyat menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih baik. Perang gerilya adalah salah satu siasat untuk mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih unggul. Setelah ditangkap Belanda, Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur.

Surat Wasiat Sultan Adam Untuk Pangeran Hidayatullah

Naskah Asli tersimpan baik oleh Ratu Yus Roostianah Keturunan garis ke-3 / cicit dari Pangeran Hidayatullah

Surat diatas merupakan tulisan tangan dalam huruf arab berbahasa Melayu Banjar.

Terjemahan :

Bismillahirrahmannirrohim

Asyhadualla ilaha ilalloh naik saksi aku tiada Tuhan lain yang di sembah dengan se-benar- benarnya hanya Allah

Wa asyhaduanna Muhammadarasululloh naik saksi aku Nabi Muhammad itu sebenar-benarnya pesuruh Allah Ta’ala

Dan kemudian dari pada itu aku menyaksikan kepada dua orang baik-baik yang memegang hukum agama Islam yang pertama Mufti Haji Jamaluddin yang kedua pengulu Haji Mahmut serta aku adalah di dalam tetap ibadahku dan sempurna ingatanku.

Maka adalah aku memberi kepada cucuku Andarun bernama Pangeran Hidayatullah suatu desa namanya Riyam Kanan maka adalah perwatasan tersebut dibawah ini ;

Mulai di Muha Bincau terus di Teluk Sanggar dan Pamandian Walanda dan Jawa dan terus di Gunung Ronggeng terus di Gunung Kupang terus di Gunung Rundan dan terus di Kepalamandin dan Padang Basar terus di Pasiraman Gunung Pamaton terus di Gunung Damar terus di Junggur dari Junggur terus di Kala’an terus di Gunung Hakung dari Hakung terus di Gunung Baratus, itulah perwatasan yang di darat.

Adapun perwatasan (batas tepi) yang di pinggir sungai besar maka adalah yang tersebut dibawah ini;

Mulai di Teluk Simarak terus di seberang Pakan Jati terus seberang Lok Tunggul terus seberang Danau Salak naik ke daratnya Batu Tiris terus Abirau terus di Padang Kancur dan Mandiwarah menyebelah Gunung Tunggul Buta terus kepada pahalatan (garis batas pemisah) Riyam Kanan dan Riyam Kiwa dan pahalatan (garis batas pemisah) Riyam Kanan dengan Tamunih yaitu Kusan.

Kemudian aku memberi Keris namanya Abu Gagang kepada cucuku.

Kemudian lagi aku memberi pula suatu desa namanya Margasari dan Muhara Marampiyau dan terus di Pabaungan ke hulunya Muhara Papandayan terus kepada desa Batang Kulur dan desa Balimau dan desa Rantau dan desa Banua Padang terus ke hulunya Banua Tapin.

Demikianlah yang berikan kepada cucuku adanya.

Syahdan maka adalah pemberianku yang tersebut di dalam ini surat kepada cucuku Andarun Hidayatullah hingga turun temurun anak cucunya cucuku Andarun Hidayatullah serta barang siapa ada yang maharu biru maka yaitu aku tiada ridho dunia akhirat.

Kemudian aku memberi tahu kepada sekalian anak cucuku dan sekalian Raja-raja yang lain dan sekalian hamba rakyatku semuanya mesti me-Rajakan kepada cucuku Andarun Hidayatullah ini buat ganti anakku Abdur Rahman adanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies