Sejarah Kerajaan Banjar
Diposting oleh
URANG BANJAR alias ALI ANWAR alias AL BANJARI
, Minggu, 27 September 2009 at 07.28, in
Kabupaten Banjar dengan Ibukotanya Martapura mempunyai latar belakang sejarah yang sangat penting sebelum menjadi Kabupaten sekarang, dulunya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan banjar.
Kerajaaan Banjar di Kabupaten Banjar di mulai pada tahun 1612, dimasa pemerintahan Sultan Musta’in Billah yang dikenal dengan Pangeran Kecil memindahkan keraton dari Banjarmasin ke Kayu Tangi atau Telok Selong Martapura, karena keraton di Kuwin dihancurkan Belanda. Daerah pusat kerajaan adalah Karang Intan dan Martapura sebagai pusat pemerintahan dan keraton sultan, pada akhir masa pemerintahan Sultan Hidayatullah
B. Terbentuknya Kerajaan Banjar, Raja yang Memerintah dan Susunan Pemerintah.
Kerajaan Islam yang terletak di bagian Selatan Pulau Kalimantan, disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan Hindu yaitu Kerajaan Negara Daha.
Kata Banjarmasin merupakan paduan dari dua kata, Bandar dan Masih, berasal dari nama seorang Perdana Menteri Kerajaan Banjar yang cakap dan berwibawa serta mempunyai pandangan yang jauh ke depan untuk menjadikan Kerajaan Banjar Sebuah Kabupaten Banjar dengan Ibukotanya Martapura mempunyai latar belakang sejarah yang sangat penting sebelum menjadi Kabupaten sekarang, dulunya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Banjar.
Kerajaan Banjar di Kabupaten banjar dimulai pada tahun 1612, di masa pemerintahan Sultan Mustain Billah yang dikenal dengan Pangeran Kecil memindahkan keraton dari Banjarmasin ke Kayutangi atau Telok Selong dengan pusat pemerintahan di Kuin Banjarmasin.
RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH
1. SULTAN SURIANSYAH
Sultan Suriansyah adalah Raja Banjar ke-9 menurut zaman Hindu atau Sultan Banjar ke-1 di zaman Islam. Beliau sebelumnya bergelar Pangeran Raja Samudera bin Pangeran Tumenggung bergelar Batu Habang, Sultan Banjar yang pertama sekali memeluk agama Islam.
Beliau di-Islamkan oleh Khatib Dayan, utusan dari Sunan Giri dan Demak di Jawa. Tercatat pula disini berdirinya Mesjid yang pertama di Kalimantan yaitu Mesjid yang ada di Kuin Banjarmasin.
Sultan Suriansyah memerintahkan sejak tahun (1526-1545 M), selama kurang lebih 25 tahun. Adapun pusat Kerajaan atau Kesultanan di Kuin Banjarmasin dan selama memerintah beliau didampingi oleh Patih Masih.
Tercatat pula disini terjadinya Perang Bungur antara Sultan Suriansyah dengan paman beliau sendiri, yang akhirnya paman beliau menyerahkan kekuasaan tanpa syarat. Setelah wafat di makamkan di Kampung Kuin Banjarmasin.
Sultan Suriansyah merupakan tokoh amat penting dalam sejarah Islam di Kalimantan. Beliau merupakan Sultan pertama dari dua belas Sultan yang memerintah Kesultanan Banjar dan mempunyai banyak gelar , diantarnya : Panembahan Batu Putih, Panembahan Batu Hirang dan Panembahan marhum.
Pusat pemerintahannya yang semula berpusat di Banjarmasin dipindahkan ke Kayutangi Telok Selong, Martapura pada tahun 1612. Masa pemerintahan Sultan Suriansyah merupakan babakan baru bagi penyiaran dan perkembangan Islam di Kalimantan.
2. SULTAN RAHMATULLAH
Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah memerintah sejak tahun 1545-1570 M selama kurang lebih 22 tahun. Beliau adalah Raja Banjar ke-10 menurut zaman Hindu atau Sultan Banjar ke-2 menurut zaman Islam, beliau juga bergelar Panembahan Batu Putih.
Dalam pemerintahan beliau berdasarkan Islam yang mengutamakan di bidang pertanian dan mengadakan hubungan dengan luar daerah, karena pada waktu itu bahwa ibukota Kerajaan kian bertambah ramai dengan para pedagang dari segenap bangsa juga dari luar kepulauan, berdatangan ke ibukota kerajaan. Beliau wafat dan dimakamkan di Kampung Kuin Banjarmasin. Sultan Rahmatullah mempunyai saudara ada 3 orang yaitu :
1. Pangeran Tengah di Amandit
2. Pangeran Tibaran di Riam Atas Martapura
3. Pangeran Sirapandji di Kalimantan Tengah
3. SULTAN HIDAYATULLAH
Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah adalah Raja Banjar ke 11 menurut zaman Hindu atau Sultan Banjar ke-3 zaman Islam., beliau memegang kekuasaan pemerintahan menggantikan ayahnya Sultan Rahmatullah. Beliau memerintah dari tahun 1570-1595 M. Selama kurang lebih 8 tahun, sedangkan pusat pemerintahan atau kerajaan tetap di Kuin Banjarmasin.
Dalam menjalankan pemerintahan beliau sangat keras dalam mengembangkan ajaran agama islam, pelaksanaan pemerintahan berdasarkan hukum islam apabila rakyat tidak sembahyang Jum’at dengan sengaja, maka dihukum rendam ke dalam air, selama kurang lebih satu jam.
Beliau wafat dan dimakamkan di kampung Kuin Banjarmasin, beliau mempunyai saudara sebanyak 2 orang yaitu :
1. Pangeran Demang
2. Raden Zakaria
Sultan Hidayatullah juga mempunyai gelar sebagai Panembahan Batu Hirang.
4. SULTAN MUSTA’INBILLAH
Sultan Musta’inbillah bin Sultan Hidayatullah adalah Raja banjar ke 12 zaman Hindu atau Sultan banjar ke-4 zaman Islam.
Beliau bergelar Maruhum Panembahan , atau Pangeran Kacil memerintah sejak tahun 1595-1620 M, selama kurang lebih 28 tahun.
Pada tahun 1630 sebelum Panembahan Sultan Musta’inbillah, telah terjadi kebakaran besar di Banjarmasin (Bandarmasih) dan pusat pemerintahan kesultanan di Banjarmasin di pindahkan ke Pamakuan Sungai Tabuk karena datangnya serangan-serangan dari pihak Kompeni Belanda. Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan pula ke Batang Mangapan atau Muara Tambangan, sekarang Kayu Tangi Dalam Pagar Martapura.
Pada zaman Sultan Musta’inbillah, tercatat pula para punggawa sebagai pembantu beliau yaitu:
1. Kiai Wangsa
2. Kiai Wirya
3. Kiai Kandurun
4. Kiai Djajabaya
5. Kiai Lurah Satun
6. Gindu Aji
7. Gindu Mui
8. Gindu Bahar/Mahar
9. Kiai Martasura
10. Kiai Wirayuda
Cucu Sultan Musta’inbillah ialah Puteri Gelang, yang dikawinkan dengan cucu Sultan Hidayatullah yaitu Dipati Ngandingan, dan Dipati Ngandingan dikawinkan pula dengan cucu Haji Tunggal yang dijemput di Pasir dan Dipati Ngandingan ditugaskan memerintah di Kotawaringin.
Pada zaman tersebut tercatat tenggelamnya 4 buah kapal Kompeni Belanda, dan Pertahanan Kesultanan terkenal mulai Pemakuan Batang Mangapan/Muara Tambangan Dalam Pagar, Kayu Tangi Martapura.
Adapun saudara-saudara Sultan Musta’inbillah yaitu :
1. Pangeran Antakesuma
2. Ratu Bagus (Aninullah Bagus Kesuma)
3. Pangeran Ranggo Kesuma.
Beliau wafat dimakamkan di Martapura
5. SULTAN INAYATULLAH
Sultan Inayatullah bin Sultan musta’inbillah adalah Raja Banjar ke-13 (zaman Hindu) atau Sultan Banjar ke 5 (zaman Islam). Beliau bergelar Ratu Agung Pangeran Dipati Tuha memerintah sejka tahun 1620-1637 M selama kurang lebih 7 tahun.
Pusat kerajaan tetap berada di Muara Tambangan Dalam Pagar Kayu Tangi Martapura, selama pemerintah Sultan Inayatullah serangan-serangan pihak Kompeni Belanda masih terjadi di luar pusat kerajaan. Tercatat sebagai Mangkubumi adalah Tumenggung Raksa Negara, dan sebagai Punggawa adalah Pangeran Perbatasari dan Kiai Warang Baja.
Pemerintahannya sebagaimana pemerintahan Sultan-Sultan sebelumnya yakni berdasarkan Hukum Syariat Islam. Sultan Inayatullah ini mempunyai anak dari tiga orang isteri, masing-masing:
a. Dari isteri beliau orang Banjar melahirkan Ratu Anum, kemudian setelah menjadi Raja bergelar Sultan Sa’idullah.
b. Dari isteri beliau orang Jawa melahirkan Adipati Halid dan disebut pula dengan Pangeran Tapesana.
c. Dari isteri beliau orang Dayak melahirkan Pengeran Surianata atau yang disebut dengan Pangeran Adipati Anum.
Beliau wafat dan dimakamkan di Martapura.
6. SULTAN SA’IDULLAH
Sultan Sa’idullah bin Sultan Inayatullah adalah Raja Banjar ke-14 (zaman Hindu) atau Sultan Banjar ke-6 (zaman Islam).
Beliau bergelar Ratu Anom Panembahan Batu ke I, memerintah sejak tahun 1642-1660 M, selama kurang lebih 15 tahun lamanya. Dalam pemerintahannya banyak dilaksanakan oleh Wazir, bersama Patih Panggawa, karena Sultan ini hanya memperhatikan dan suka beribadah saja. Dalam pemerintahannya ini saudaranya yang bernama Adipati Halid menjabat sebagai Mangkubumi dan bergelar Pangeran Mangkubumi.
Sultan Sa’idullah mempunyai saudara sebanyak 2 orang, yaitu :
1. Ratu Lamak
2. Ratu Bagawan
Dan beliau juga mempunyai anak laki-laki bernama Aminullah Bagus Kesuma.
Saudara beliau yang pertama ; Ratu Lamak mempunyai seorang anak yaitu bernama Ratu Agung yang menjadi Raja di Negara. Saudara beliau yang kedua Ratu Begawan menjadi Sultan Kotawaringin. Sultan Sa’idullah wafat setelah lima tahun memerintah dan dimakamkan di Martapura.
7. SULTAN TAHLILULLAH
Sultan Tahlilullah bin Sultan Sa’idullah adalah Raja Banjar ke-15 menurut zaman Hindu atau Sultan Banjar ke-7 menurut zaman Islam. Beliau bergelar Pangeran Dipati Tapasana atau Panembahan Tengah. Beliau memerintah sejak tahun 1700-1745 M selama kurang lebih 45 tahun.
Sultan Tahlilullah meninggal dunia (wafat) pada tahun 1745 M dan Kesultanan Banjar berikutnya langsung digantikan oleh anak beliau yang tertua yaitu Sultan Tahmidullah sedangkan anak beliau seluruhnya ada 4 (empat) orang yaitu :
1. Sultan Tahmidullah
2. Sultan Tamjidillah
3. Panembahan Hirang
4. Pangeran Dipati
Diantara usaha Sultan Tahlilullah yang paling menonjol ialah memberangkatkan Muhammad Arsyad (M.Arsyad Al-Banjari) ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu atas biaya dari kerajaan. Muhammad Arsyad tinggal di istana dan dibesarkan sebagai putera angkat Sultan Tahlilullah sejak ia berusia 7 tahun. Selama menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah (sekitar 30 tahun) ia telah menimba banyak ilmu bahkan ia dipromosikan menjadi maha guru dalam bidang hukum yang beraliran Mazhab Syafi’I oleh salah seorang gurunya yang terkenal yaitu Syekh Ataillah.
Pada tahun 1772 Muhammad Arsyad kembali ke Kalimantan disaksikan oleh Sultan Tamjidillah. Ia kemudian bergelar Maulana Syech Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia hidup dalam masa pemerintahan tiga sultan, yaitu Sultan Tamjidillah, Sultan Tahmidillah (memerintah 1778-1808) dan Sultan Sulaiman. Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari ini membawa sinar yang lebih terang dalam syiar Islamm di Kalimantan dengan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat di wilayah ini.
Pada pemerintahan Sultan Tahmidillah, Syekh Muhammad Arsyad diangkat sebagai Musytasyar kerajaan (Mufti Besar Negara Kalimantan) untuk mendampingi Sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, dan beliaulah orang yang pertama menyusun organisasi Mahkamah Syariah dan Kadi-Kadi Pengadilan seluruh Kesultanan.
8. SULTAN TAHMIDULLAH
Sultan Tahmidullah bin Sultan Tahlilulllah adalah Raja Banjar ke-17 menurut zaman Hindu atau Sultan Banjar ke-9 di zaman Islam. Sultan Tahmidullah bergelar Panembahan Kuning memerintah sejak 1745 dan dan berakhir pada tahun 1745 itu pula. Beliau tidak lama menduduki tahta Kesultanan, karena kemudian beliau wafat dan dimakamkan di Kampung Dalam Pagar Martapura.
Pengganti Sultan Tahmidullah adalah Sultan Kuning, namun dalam tahun itu juga Sultan Kuning wafat, sedangkan anak beliau bernama Muhammad Aliuddin masih belum masih belum dewasa, maka Pangeran Tamjid yang Mangkubumi dengan gelar Sultan Muda memegang pemerintahan.
9. SULTAN TAMJIDILLAH
Sultan Tamjidillah bin Sultan Tahlilullah adalah Raja Banjar ke-17 (zaman Hindu) atau Sultan Banjar ke-9 (zaman Islam). Sultan Tamjidillah bergelar Sultan Sepuh atau Panembahan Batu ke IV yang memerintah sejak tahun 1745-1778 selama kurang lebih 33 tahun.
Dalam pemerintahan beliau, Kerajaan mendapat kemajuan terutama dalam bidang perdagangan, agama Islam dikembangkan ke daerah-daerah.
Sultan Tamjidillah membangun istana serta memindahkan pusat pemerintahan ke Keraton Martapura, yang sekarang Jalan Mesjid/Jalan Demang Lehman, pendopo serta balairungnya bertepatan mulai bekas Kantor Pos sampai ke Lapangan Bumi Selamat yang sekarang bernama Cahaya Bumi Selamat. Selain itu beliau membangun pula Mesjid lama di Desa Pasayangan di muka Pondok Pesantren Darussalam. Namun sekarang keadaan Mesjid serta Istana tersebut telah dibumihanguskan oleh Kompeni Belanda pada waktu Perang Banjar di zaman Pangeran Hidayatullah.
Pada waktu itu bertepatan pula dengan terjadinya peristiwa dihukum gantungnya Panglima Demang Lehman dan Pahlawan lainnya di Alun-Alun (Lapangan Bumi Selamat/CBS sekarang) oleh Kompeni Belanda.
Sultan Tamjidillah ini mempunyai anak perempuan dan ia dikawinkan dengan Pangeran Muhammad Aliuddin bin Sultan Kuning, dan beliau juga mempunyai anak laki-laki yaitu Pangeran Nata Dilaga.
Setelah dilihat oleh Pangeran Aliuddin bahwa Sultan Tamjidillah (paman/mertuanya) tidak ada keinginan menyerahkan kekuasaan Kerajaan kepadanya, maka ia lari ke Tabanio. Kemudian dalam tahun 1759 M, ia datang kepada Sultan Tamjidillah untuk menjemput isteri dan anaknya, sekaligus mengambil kekuasaan Kerajaan.
10. SULTAN TAHMIDILLAH
Sultan Tahmidillah bin Sultan Tamjidillah adalah Raja Banjar ke-18 (zaman Hindu) atau Sultan Banjar ke-10 (zaman Islam). Beliau bergelar Panembahan Batuah ke V yang memerintah sejak tahun 1778-1808 M, selama kurang lebih 30 tahun lamanya. Sedangkan pusat pemerintahan tetap berada di Keraton Martapura. Selama pemerintahan Sultan Tahmidillah Kerajaan mendapat kemajuan yang pesat. Perdagangan menjadi maju sehingga banyak pedagang-pedagang dari luar yang datang untuk membeli hasil lada dan lain-lainnya.
Sultan Tahmidillah mempunyai saudara 8 orang yaitu :
a. Pangeran Mangku Dilaga
b. Pangeran Mangku Negara
c. Ratu Kesuma Yuda
d. Pangeran Prabu Anom
e. Puteri Sara
f. Pangeran Isa
g. Pangeran Toha
h. Pangeran Berahim
Sejak Sultan Tamjidillah dan Sultan Tahmidillah sebagai Sultan Banjar ke-9 dan ke-10, keberadaannya tidak diakui oleh pemerintah Kolonial Belanda.
11. SULTAN SULAIMAN RAHMATULLAH
Sultan Sulaiman bin Sultan Tahmidillah adalah Raja Banjar ke-19 menurut zaman Hindu atau Sultan Banjar ke-11 menurut zaman Islam.
Sultan Sulaiman memerintah sejak tahun 1808-1825 M, selama kurang lebih 17 tahun. Kesultanan Sulaiman juga tidak diakui oleh Belanda sebagai Sultan Banjar 11. Malah pihak Belanda memaksa beliau untuk menebus perjanjian antara Wiranata (Sultan Sulaiman Saidullah) dengan Belanda.
Pusat pemerintahan atau Keraton Kerajaan Banjar pada masa pemerintahan beliau dipindahkan ke Karang Anyar Karang Intan, Kabupaten Banjar.
Pemerintahan beliau sangat adil, ramah tamah terhadap rakyatnya, sehingga rakyat mencintai dan mentaati segala perintahnya. Rakyat diserukan seluruhnya agar rajin melaksanakan ibadah kepada Tuhan.
Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1825 M dan dimakamkan di Karang Intan. Sultan Sulaiman mempunyai 15 orang saudara yaitu :
a. Pangeran Muhammad
b. Ratu Asnael
c. Pangeran Nata
d. Gusti Daud
e. Ratu Ishaq
f. Ratu Salamah
g. Ratu Siti Aermas
h. Ratu Mahmud
i. Ratu Muhiddin
j. Ratu Tapa
k. Ratu Padjang
l. Ratu Halimah
m. Gusti Halimah
n. Ratu Nata Kesuma
o. Ratus Animah
12. SULTAN ADAM ALWASIQUBILLAH
Sultan Adam Alwasiqubillah lahir pada tahun 1786 di bumi Karang Anyar Karang Intan Kabupaten Banjar.
Beliau memerintah dari tahun 1825-1857 selama kurang lebih 32 tahun. Beliau adalah Raja Banjar ke-20 zaman Hindu atau Sultan Banjar ke-12 zaman Islam.
Sultan Adam adalah Putera pertama yang tertua dari putera Sultan Sulaiman Rahmatullah, sedangkan ibu beliau bernama Ratu Intan Sari.
Adapun saudara-saudara beliau yang seibu sebapak sebanyak 15 orang. Pemerintahan Sultan Adam yang lamanya kurang lebih 32 tahun tersbeut hanya 25 tahun saja berjalan dengan aman dan lancar.
Dalam pemerintahan Sultan Adam pada waktu mulai diusik oleh Belanda, tetapi belum secara terang-terangan, namun lama kelamaan akhirnya secara berangsur-angsur pemerintah Belanda turut campur tangan daam urusan Kesultanan Banjar, antara lain pemerintah Belanda menghendaki agar Sultan Adam menunjuk penggantinya sesuai dengan cara yang dikehendaki Belanda, dengan alasan agar hubungan antara Kerajaan Banjar dengan pihak Belanda lancar. Tetapi Sultan Adam tidak menyetujuinya karena beliau telah mengetahui lebih dahulu bahwa hal itu adalah siasat licik Belanda untuk memecah belah keluarga Kesultanan secara turun temurun nantinya.
Dalam mengatasi masalah tersebut agar tidak terjadi perebutan kekuasaan diantara sesama keluarga Kesultanan maka langkah yang diambil oleh Sultan Adam adalah dengan cara menunjuk cucu beliau sendiri yaitu Pangeran Hidayatullah sebagai pengganti beliau untuk menjadi Sultan Banjar.
Pusat pemerintahan dan istana kerajaan Sultan Adam berpindah-pindah dari Keraton Sasaran dan Pesayangan jalan Demang Lehman Martapura sekarang. Bekas-bekas istana, sitilohor (pendopo), benteng dan balai pengamanannya di kelilingi oleh ribuan tonggak balok kayu ulin, halaman tempat terpancangnya tiang bendera kerajaan, kini telah ditempati oleh lokasi penginapan Abadi, Asrama Kal-Tim, bekas Kantor Radio Al-Qaromah, bekas Kantor Pos, Pasar Thaybah, Pasar Batuah dan lapangan Bumi Selamat sekitarnya yang sekarang jadi lapangan Cahaya Bumi Selamat.
Dalam pemerintahan Sultan Adam ini dapat pula terbentuknya Undang-Undang dalam peradilan, yang berhubungan dengan agama Islam, diantaranya tentang perkawinan, hak tanah dan lain-lain yang terkenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam.
Sultan Adam wafat pada tahun 1857 M pada hari Ahad tanggal 14 Rabiul Awal 1274 H dan dimakamkan di Kampung Jawa Martapura.
Pada tahun 1825 Sultan Adam naik tahta kerajaan Banjar, dibawah pemerintahan Sultan , putera mahkota diangkat sebagai Sultan Muda menjadi pembantunya selain dari Mangkubumi. Karena itu putera mahkota Abdurrahman diangkat menjadi Sultan Muda. Pengangkatan ini bertujuan untuk memperkuat kedudukan putera mahkota baik dalam pemerintahan maupun dalam bidang keuangan sehingga kalau Sultan meninggal tidak ada lagi orang yang dapat menjatuhkan putera mahkota.
Dengan Sultan Adam oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1826 diadakan sebuah kontrak baru yang ternyata bertahan sampai runtuhnya Kerajaan Banjar 1860, yang menyatakan sebagai berikut :
a. Pemilihan atas penetapan putera mahkota harus disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Demikian pula penunjukan Perdana Menteri yang bertugas melaksanakan perintah Sultan atas seluruh daerah Kerajaan Banjar;
b. Tidak ada satu wilayah pun yang diperintah Sultan bisa diserahkan kepada pihak lain tanpa seizin Gubernemen;
c. Sultan, anak-anaknya dan keluarga tidak diizinkan menerima surat atau duta dari negara-negara asing, raja-raja lain atau mengirimkannya kepada mereka tanpa izin atau memberitahu sebelumnya kepada Residen;
d. Mangkubumi dan orang-orang Banjar yang tinggal di daerah Sultan di Banjarmasin atau di tempat lain, apabila berbuat kejahatan terhadap pemerintah Belanda atau pegawainya akan dihukum oleh pengadilan yang didirikan Sultan dan Gubernemen wilayah Banjarmasin.
e. Semua orang Banjar yang tinggal dalam wilayah Kerajaan Banjar akan diadili oleh Pengadilan yang diatur oleh Kerajaan Banjar sendiri. Semua hukuman yang merusak anggota badan misalnya memotong tangan, dan sebagainya dihapuskan;
f. Tiap orang diizinkan berdagang dan Raja mempunyai hak untuk megadakan cukai dan pajak yang adil, dan lain sebagainya.
Dalam kontrak ini terdapat sejumlah pasal yang jelas, serta bertentangan dengan adat kerajaan dan merusaknya. Sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat yang luar biasa, seperti penunjukan Putera Mahkota, penunjukan Mangkubumi, penerimaan surat dari negara atau raja lain atau sebaliknya sebagai negara berkurang kedaulatannya.
Sultan Sulaiman mengawinkan cucunya Sultan Muda Abdurrahman dengan Ratu Antasari, adik Pangeran Antasari. Perkawinan ini bertujuan agar keturunan Sultan Tahmidillah dapat didamaikan dengan keturunan Tamjidillah. Memang sejak tahun 1787 dengan dibuangnya Pangeran Amir, tahta kerajaan Banjar di rampas oleh keturunan Pangeran Tamjidillah. Supaya hak atas tahta itu turun-temurun jatuh ke dalam tangan keluarganya, Kerajaan Banjar diserahkan kepada Belanda tahun 1787 dan Belanda kemudian menyerahkan kembali tahta itu untuk diperintah kembali oleh keturunan oleh keturunan Tamjidillah di bawah perlindungan Belanda.
Untuk menghilangkan perselisihan antara kedua keluarga ini, maka Sultan Muda Abdurrahman dikawinkan dengan adik Pangeran Antasari. Namun sayangnya isterinya ini kemudian meninggal. Dalam tahun 1817 itu pula lahir seorang anak laki-laki dari selir Sultan Muda Abdurrahman yang seorang keturunan Cina dari kampung Pacinan yang bernama Nyai Aminah.
13. SULTAN MUDA ABDURRAHMAN
Dalam sejarah Kesultanan Banjar , Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Alwasiqubillah tidak sempat menduduki tahta kerajaan, karena sewaktu beliau meninggal (wafat) pada tahun 1852, tahta kerajaan pada waktu itu masih dipegang oleh Sultan Adam. Namun beliau sudah dikukuhkan oleh orang tua beliau sebagai Sultan Muda, yang kelak akan menggantikan beliau untuk menduduki tahta kerajaan, hanya karena umur beliau yang tidak panjang sehingga hal itu tidak dapat terlaksana.
Beliau mempunyai saudara sebanyak 10 orang dan dua orang isteri, yang tiap isteri tersebut melahirkan anak masing-masing 1 orang. Adapun isteri beliau yang pertama bernama Nyai Aminah (keturunan Cina), yang melahirkan anak bernama Pangeran Tamdjidillah, sedangkan isteri beliau yang kedua yaitu Ratu Siti bin Pangeran Mangkubumi Nata, yang melahirkan anak bernama Sultan Hidayatullah (Pencetus Perang Banjar).
Anak beliau dari isteri yang pertama, Pangeran Tamdjidillah telah diangkat oleh pihak Kompeni Belanda sebagai Raja, berbarengan dengan penunjukkan Pangeran Hiayatullah oleh Sultan Adam untuk menduduki tahta kerajaan.
Sejak saat itu sekitar tahun 1857-1859 M Kerajaan Banjar bergolak, karena keberhasian Belanda mengangkat Pangeran Tamdjidillah menjadi Raja Banjar yang dibantu oleh Angkatan Perang Belanda untuk meruntuhkan kekuasaan Pangeran Hidayat, karena itu pada tahun 1859 M, meletuskan Perang Banjar yang digerakkan oleh Pangeran Antasari bin Pangeran Mas’ud bin Pangeran Amir bin Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Kuning bin Amirullah Bagus Kesuma (Sultan Tahlil) hingga berakhir pada 5 Oktober 1905 M.
Sultan Muda Abdurrahman wafat dan dimakamkan di Kampung Pesayangan Martapura. Adapun saudara Sultan Muda Abdurrahman tersebut berjumlah 10 orang, yaitu :
a. Ratu Serip Husin Darma Kesuma
b. Ratu Serip Kesuma Negara
c. Ratu Serip Abdullah Nata Kesuma
d. Pangeran Asmail
e. Pangeran Nuh Ratu Anom Mangkubumi Kencana
f. Pangeran Prabu Anom
g. Pangeran Suria Mataram
h. Ratu Djantera Kesuma
i. Pangeran Nasaruddin
j. Ratu Idjah
C. Keraton Bumi Kencana di Martapura dan Susunan Pemerintahan
Pada abad ke-17 kerajaan Banjar terkenal sebagai penghasil lada. Pedagang-pedagang Banjar melakukan aktifitas di Banten sekitar tahun 1959. pada waktu itu 2 (dua) buah jukung (kapal) banjar dirampok oleh kompeni.
Disamping itu Belanda berusaha melakukan hubungan dagang dengan kerajaan Banjar, dengan mengirimkan utusan pada tahun 1607, tidak mendapat sambutan dengan baik. Terjadi petentangan yang mengakibatkan terbunuhnya seluruh utusan Belanda tersebut.
Pada tahu 1612 Belanda mengadakan pembalasan dengan menyerbu, menembak dan mmembakar Keraton Banjar di Kuin Banjarmasin. Pada waktu itu Kerajaan Banjar diperintah oleh Raja yang ke-4, yaitu Sultan Musata’in Billah dengan gelar Marhum Panembahan (1959-1620). Beliau akhirnya memindahkan pusat pemerintahan dari Kuin ke Martapura. Perpindahan ini tidak dilakukan langsung ke Martapuratapi secara berangsur-angsur dari Kuin ke Muara Tambangan, Batang Banyu, Kayu Tangi sampai Martapura.
Di Martapura pemerintahan berlanjut sampai Pemerintahan Sultan Inayatullah dan Sultan Sa’idullah (Ratu Anum). Sultan Sa’idullah seorang yang beribadat dan ingin berkonsentrasi di bidang agama.
Pemerintahan kemudian diserahkan kepada saudaranya dari ibu orang Jawa bernama Adipati Halid (Pangeran Ratu = pangeran Tapesana), karena anak Sultan Sa’idullah bernama Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.
Pada waktu itulah terjadi pemberontakan oleh salah seorang saudara Adipati Halid dati ibu orang Biaju bernama Adipati Anum (Pangeran Surianata). Pemberontakan diakhiri dengan kesepakatan Adipati Halid tetap bertahta di Martapura dan Adipati Anum di Banjarmasin. Tahun 1666 Adipati Halid meninggal, Amirullah Bagus Kesuma naik tahta dan terjadi revolusi istana melawan pamannya pangeran Surianata di Banjarmasin.
Pangeran Suriantan mati terbunuh dalam perjalanan dari ibukota kembali ke Keraton Bumi Kencana Martapura. Hal ini berlanjut sampai pemerintahan Sultan Hamidullah, Sultan Tamjid, Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah, Sultan Nata Dilaga, Sultan Sulaiman, dan Sultan Adam.
Pada waktu pemerintahan Sultan Adam (1825-1857) beliau menempati istana di Sungai Mesa (Banjarmasin) dengan permaisuri yang bernama Nyai Ratu Komala Sari. Di saat beliau sakit dibawa ke Martapura dan meninggal di sana.
Pada waktu pemerintahan Sultan Tamjid (dinobatkan di Bumi Kencana) beliau berkedudukan di Sungai Mesa banjarmasin sampai turun tahta pada tanggal 25 Juni 1859.
SUSUNAN PEMERINTAHAN
Susunan pemerintahan Kerajaan Banjar yang disebutkan terdahulu mengalami perubahan khususnya pada masa pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah. Perubahan tersebut meliputi :
1. Radja :
Sultan – Panembahan
2. Mangkubumi :
Anggota di bawah mangkubumi adalah :
Panganan-Pangiwa-Manteri Bumi dan 40 orang Manteri Sikap
3. Mufti :
Hakim tertinggi, pengawas pengadilan umum
4. Qadi :
Kepala urusan hukum agama Islam
5. Penghulu :
Hakim rendah
6. Lurah :
Langsung sebagai pembantu lalawangan dan mengamati pekerjaan beberapa orang, pembakal (kepala kampung) di bantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
7. Pembakal :
Kepala kampung yang menguasai beberapa anak kampung
8. Mantri :
Pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan lalawangan.
9. Tatuha Kampung :
Orang yang terkemuka di kampung
10. Panakawanan :
Segala macam pajak dan kewajiban
11. Sarawasa, Sarabuana, SaraBadja :
Kuasa di seluruh Pedalaman (Keraton)
12. Mandung dan Pasa Juda :
Kepala Balai Rongsari dan Bangsal
13. Mamagar Sari :
Penggapit Raja duduk di Sitilohor.
14. Pariwala, dan Singataka :
Kuasa dalam urusan dan pakan (pasar)
15. Sarageni dan Saradip :
Kuasa dalam urusan alat senjata
16. Puspa Wana :
Kuasa dalam urusan tanaman, perhutanan, perikanan, peternakan, dan berburu.
17. Karang Adji dan Nanang :
Ketua Balai Petani mendapat kehormatan sejajar dengan Raja sebagai pahlawan turunan bangsawan.
18. Warga Sari :
Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan.
19. Anggamarta :
Juru Bandar (urusan pelabuhan)
20. Astaprana :
Juru Tabuhan-tabuhan kesenian dan kesusasteraan.
21. Kaum Mangumbara :
Kepala Pengurus Upacara
22. Wiramarta :
Manteri Dagang
23. Budjangga :
Kepala dalam urusan bangunan-bangunan rumah dan Agama.
24. Singabana :
Kepala Ketentraman Umum.
D. PENUTUP
Kerajaan Banjar sebagai Kerajaan Islam keberadaannya mempunyai 2 (dua) pusat pemerintahan yaitu Kuin di Banjarmasin dan Bumi Kencana Martapura.
Pada waktu pusat pemerintahan di Martapura kerajaan bercorak kerajaan Islam ini sangat berkembang pesat. Di Martapura (Lok Gabang) tempat lahir seorang ulama besar Syech Muhammad Arsyad AlBanjari (1710-1812) yang lebih dikenal dengan sebutan datu Kalampaian. Beliau mengarang sebuah bermacam-macam kitab sebagai penuntun umat. Kitab yang sangat terkenal adalah Sabilal Muhtadin dicetak di Mekkah, Istambul, dan Qairo. Tersebar ke wilayah Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand, Brunei, Kampuchea, Vietnam, dan Laos.
Beliau lahir pada masa pemerintahan Sultan Hamidullah (1700-1734) disekolahkan dan dibiayai oleh Sultan Tamjidillah (1734-1759) ke Mekkah selama 30 tahun, kemudian kembali ke kerajaan pada waktu pemerintahan Sultan Nata Dilaga atau Sultan Tahmidillah (1801-1825).
Pada waktu pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah telah dibuat untuk pertama kalinya ketetapan hukum tertulis dalam menerapkan hukum Islam di Kerajaan Banjar yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan Adam.
Dari beberapa sumber disebutkan ada beberapa tempat yang menjadi kedudukan raja setelah pindah ke Martapura seperti : Kayu Tangi, Karang Intan dan Sungai Mesa. Tetapi dalam beberapa perjanjian antara Sultan Banjar dan Belanda, penanda tanganan di Bumi Kencana. Begitu juga dalam surat menyurat di tujukan kepada Sultan di Bumi Kencana Martapura.
Jadi Bumi Keraton Kencana Martapura adalah pusat pemerintahan untuk melakukan aktivitas kerajaan secara formal sampai dihapuskannya kerajaan banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.
Status kerajaan banjar setelah dihapuskan masuk ke dalam Keresidenan Afdeling dan Timur Borneo. Wilayah di bagi dalam 4 afdeling, salah satunya adalah afedling Martapura yang terbagi dalam 5 Distrik, yaitu Distrik Martapura, Riam Kanan, Riam Kiwa, Banua Ampat dan Margasari.
Selanjutnya terjadi perubahan dalam keorganisasian pemerintahan Hindia Belanda. Dibawah Afdelingterdapat Onderafdeling dan distrik.
Afdeling Martapura terdiri 3 onderafdeling, salah satunya adalah onderafdeling Martapura dengan distrik Martapura. Perubahan selanjutnya Martapura menjadi onderafdeling di bawah afdeling Banjarmasin.
Afdeling dipimpin oleh Controleur dan Kepala Distrik seorang Bumi Putera dengan Pangkat Kiai.
Setelah kedaulatan diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949, ditetapkan daerah Otonomi Kabupaten Banjarmasin. Daerah otonom Kabupaten Banjarmasin meliputi 4 Kewedanaan.
DPRDS pada tanggal 27 Pebruari 1952, mengusulkan perubahan nama Kabupaten Banjarmasin menjadi Kabupaten Banjaryang disetujui dengan Undang-Undang Darurat 1953, kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No.27 Tahun 1959.
Mufti Jamaluddin Al-Banjari
Riwayat Hidup
Nama lengkap Mufti Jamaluddin al-Banjari adalah Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ia lahir pada tahun 1780 di Banjar (kini Banjarmasin), Kalimantan Selatan, Indonesia. Ayahnya bernama Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, merupakan tokoh ulama terkenal asal Kalimantan Selatan. Jamaluddin al-Banjari memperoleh pendidikan agama dari ayahnya sendiri. Ibunya bernama Go Hwat Nio atau dikenal dengan sebutan Tuan Guat, yang merupakan keturunan China namun kemudian memeluk Islam melalui bimbingan dari Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Jamaluddin al-Banjari mempunyai lima orang saudara, dua di antaranya laki-laki (al-‘Alim al-‘Allamah Khalifah Hasanuddin dan al-‘Alim al-‘Allamah Khalifah Zainuddin), dan tiga lainnya perempuan (Aisyah, Raihanah, dan Hafsah).
Keluarga dekat Jamaluddin al-Banjari banyak yang menjadi mufti. Tercatat ada sekitar sepuluh orang yang menjadi mufti, yaitu 1). Jamaluddin al-Banjari (dirinya sendiri); 2). Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari; 3). Muhammad As‘ad bin Utsman; 4). Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As‘ad; 5). Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari; 6). Muhammad Khalid bin ‘Allamah Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari; 7). Muhammad Nur bin al-‘Alim al-‘Allamah Qadi Haji Mahmud; 8). Muhammad Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari; 9). Jamaluddin bin Haji Abdul Hamid; 10). Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad ‘Afif bin ‘Alimul ‘Allamah Qadi Abu Na‘im bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Jamaluddin al-Banjari sendiri pernah menjadi mufti di Martapura, sebuah wilayah di Kesultanan Banjar. Ia memiliki pengaruh yang sangat besar pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825 M - 1857 M). Mufti Jamaluddin al-Banjari berkontribusi sangat penting dalam perumusan Undang-Undang Sultan Adam (1251 H /1835 M). Ia kemudian dikenal sebagai ahli undang-undang Kesultanan Banjar. Pendapat dan pandangannya banyak mempengaruhi dalam setiap proses perumusan undang-undang kesultanan. Pada pasal 31, misalnya, namanya disebutkan dalam teks undang-undang. Padahal, sangat jarang terjadi ada suatu fatwa dari seorang mufti yang dimasukkan ke dalam sebuah pasal dalam undang-undang kesultanan.
Mufti Jamaluddin al-Banjari pernah mendamaikan perselisihan antara keluarga Diraja Banjar dan pemegang “Surat Wasiat Sultan Adam”. Pada bulan Desember 1855, Sultan Adam pernah menulis surat wasiat yang isinya bahwa pengganti Sultan Adam adalah Pangeran Hidayatullah. Dalam surat tersebut juga dinyatakan bahwa bila anaknya Pangeran Prabu Anom dan cucunya Pangeran Tamjidillah menghalangi surat wasiat tersebut, maka diancam dengan hukuman mati. Sebagai penengah, Mufti Jamaluddin al-Banjari memegang surat wasiat itu dan mencari jalan keluar yang damai antar keduanya.
Pada abad ke-18, Mufti Jamaluddin al-Banjari berperan besar dalam mengembangkan sufisme di Marabahan, yang kini termasuk daerah di Kalimantan Selatan. Aliran sufisme ini secara khusus mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah dengan suluk-nya dan tarekat Syadziliyah. Sebagai puncaknya, aliran sufisme ini dikembangkan oleh puteranya, Abdusshamad, yang merupakan hasil perkawinan Mufti Jamaluddin al-Banjari dengan penduduk lokal bernama Samayah binti Sumandi. Abdusshamad kelak menjadi wali besar di tanah Dayak, sehingga bergelar Datu‘Abdusshamad Bakumpai.
Belum ditemukan data tentang kapan Mufti Jamaluddin al-Banjari wafat. Data yang ada hanya menyebutkan bahwa ia wafat di Sungai Jingah (Ku‘bah), Banjar (kini Banjarmasin), Kalimantan Selatan, Indonesia.
Karya
Karya Mufti Jamaluddin Al-Banjari yang sangat berpengaruh dalam literatur Melayu adalah “Perukunan Jamaluddin”. Dalam berbagai versi, karya ini ditulis degan nama: “Perukunan”, “Perukunan Besar”, dan “Perukunan Melayu”. Karya ini diterbitkan oleh Mathba‘ah al-Miriyah al-Kainah, Mekkah, pada tahun 1315 H/1897 M. Dalam berbagai versi, ada yang menyebutkan bahwa karya ini sesungguhnya milik saudara perempuannya yang bernama Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Martin van Bruinessen berpendapat bahwa karya tersebut adalah milik anak saudaranya yang bernama Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis. Meski meyakini fakta yang demikian, namun Martin van Bruinessen belum mengetahui alasan mengapa karya tersebut menggunakan nama Mufti Jamaluddin al-Banjari, sehingga menjadi “Perkumpulan Jamaluddin”. Wan Mohd. Shaghir Abdullah berbeda pandangan dengan Martin van Bruinessen bahwa karya tersebut memang benar-benar milik Mufti Jamaluddin Al-Banjari. Dalam tulisannya, Wan Mohd. Shaghir juga mengakui bahwa siapa pemilik sesungguhnya karya tersebut memang masih dalam perdebatan.
Hidayatullah II dari Banjar
Sultan Hidayatullah II bin Sultan Muda Abdurrahman (lahir 1822) adalah salah seorang pemimpin perang banjar, setelah beliau diangkat langsung oleh Sultan adam menjadi Sultan Banjar untuk meneruskan pemerintahanKesultanan Banjar menggantikan sang kakek (Sultan Adam). Hidayatullah II menjadi pemimpin rakyat Banjar antara tahun 1859 sampai 1862.
Ayah beliau adalah Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sedangkan ibunda beliau adalah Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata yang juga bangsawan keraton Banjar (tutus). Pangeran Hidayatullah II mewarisi darah biru keraton Banjar (tutus) dari kedua orangtuanya, karenanya menurut adat keraton sebagai kandidat utama sebagai Sultan Banjar dibandingkan Pangeran Tamjidullah II yang berasal dari isteri selir yang bukan tutus (bangsawan keraton Banjar). Kandidat yang lain adalah Pangeran Prabu Anom anak Sultan Adam dengan Nyai Ratu Komalasari, pangeran ini diasingkan Belanda ke Jawa. Kedua kandidat yang terakhir kurang disukai oleh rakyat dan kalangan istana.
Pangeran Hidayatullah II adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya ke Cianjur. Di sana beliau tinggal bersama dengan keluarga Sultan Kesultanan Pasir yang juga diasingkan dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah II wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.
Keturunan Pangeran Hidayatullah II masih menyimpan Surat Wasiat Sultan Adam Untuk Pangeran Hidayatullah II yang Naskah Aslinya tersimpan baik oleh Ratu Yus Roostianah Keturunan garis ke-3 / cicit dari Pangeran Hidayatullah II bertanggal 12 bulan Shofar 1259, sebagai saksi pertama Mufti Haji Jamaludin dan saksi kedua pengulu Haji Mahmut. Dalam surat tersebut Sultan Adam berwasiat kepada keturunannya, segala raja-raja (raja/penguasa lokal) dan rakyat Banjar untuk me-Raja-kan Pangeran Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya dan memberikan daerah kekuasaan (Kota Banjarbaru) yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi sebagian Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru (Distrik Riam Kanan), dan seluruh Kabupaten Tapin(Distrik Margasari dan Banua Ampat).
Pada 9 Oktober 1856, setelah mengangkat Tamjidullah II pada 8 Agustus 1852 sebagai Sultan Banjar, Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai Mangkubumi Banjar untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah II yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton serta telah mendapat wasiat dari Sultan Adam sebagai Sultan Banjar.
Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah II menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai Mangkubumi Banjar.
Pada
18 April 1859 terjadi Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Hindia Belanda dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Pangeran Hidayatulah II. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar sebagai hasil kesepakatan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah II dan Kolonel Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan Siasat menempatkan Pangeran Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar dan menurunkan Pangeran Tamjidullah II karena Belanda menilai penyerangan tambang batu bara mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar. Pangeran Hidayatulllah II dinilai sebagai tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang mereka sehingga harus dijinakkan. Kepemimpinan rakyat Banjar beralih kepada Hidayatullah II walaupun akhirnya pada 5 Februari 1860 Gouvernement-Comissaris F.N.Niewenhuyzen mengambil tindakan pemecatan terhadap Mangkubumi tersebut. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.Dalam bulan Juni 1861 Pangeran Hidayatullah berada di Gunung Pamaton (Kabupaten Banjar). Rakyat Gunung Pamaton menyambut kedatangan Pangeran Hidayatullah dan rakyat membuat benteng pertahanan sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkap Pangeran Hidayatullah. Sementara itu Pangeran Hidayatullah berunding dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di kampung Dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana akan melakukan serangan umum terhadap kota Martapura. Para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melakukan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar. Serangan umum ini direncanakan dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi rencana itu bocor ke tangan Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Pangeran Hidayatullah. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie. Mayat-mayat pasukan Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman. Pambakal Intal berhasil menguasai senjata serdadu Belanda ini. Untuk menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen Mayor Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura meminta bantuan kepada Residen G.M. Verspyck di Banjarmasin. Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang van Os yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya dilakukan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang bocor ke pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit melakukan serangan sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran terjadi pula di Kuala Tambangan. Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat. Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di sekitar daerah Mataraman, sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus berkobar. Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran di Gunung Pamaton tersebut banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris di perutnya. Serangan bulan Juni 1861 terhadap benteng Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh pimpinan perang yang gagah berani, selain Pangeran Hidayatullah terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara. Selain itu terdapat pula pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan Benteng Gunung Madang, dan saat itu ikut mempertahankan Benteng Gunung Pamaton. Dalam bulan Agustus 1861 Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan. Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Pangeran Hidayatullah dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena rakyat menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih baik. Perang gerilya adalah salah satu siasat untuk mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih unggul. Setelah ditangkap Belanda, Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur.
Surat Wasiat Sultan Adam Untuk Pangeran Hidayatullah
Naskah Asli tersimpan baik oleh Ratu Yus Roostianah Keturunan garis ke-3 / cicit dari Pangeran Hidayatullah
Surat diatas merupakan tulisan tangan dalam huruf arab berbahasa Melayu Banjar.
Terjemahan :
Bismillahirrahmannirrohim
Asyhadualla ilaha ilalloh naik saksi aku tiada Tuhan lain yang di sembah dengan se-benar- benarnya hanya Allah
Wa asyhaduanna Muhammadarasululloh naik saksi aku Nabi Muhammad itu sebenar-benarnya pesuruh Allah Ta’ala
Dan kemudian dari pada itu aku menyaksikan kepada dua orang baik-baik yang memegang hukum agama Islam yang pertama Mufti Haji Jamaluddin yang kedua pengulu Haji Mahmut serta aku adalah di dalam tetap ibadahku dan sempurna ingatanku.
Maka adalah aku memberi kepada cucuku Andarun bernama Pangeran Hidayatullah suatu desa namanya Riyam Kanan maka adalah perwatasan tersebut dibawah ini ;
Mulai di Muha Bincau terus di Teluk Sanggar dan Pamandian Walanda dan Jawa dan terus di Gunung Ronggeng terus di Gunung Kupang terus di Gunung Rundan dan terus di Kepalamandin dan Padang Basar terus di Pasiraman Gunung Pamaton terus di Gunung Damar terus di Junggur dari Junggur terus di Kala’an terus di Gunung Hakung dari Hakung terus di Gunung Baratus, itulah perwatasan yang di darat.
Adapun perwatasan (batas tepi) yang di pinggir sungai besar maka adalah yang tersebut dibawah ini;
Mulai di Teluk Simarak terus di seberang Pakan Jati terus seberang Lok Tunggul terus seberang Danau Salak naik ke daratnya Batu Tiris terus Abirau terus di Padang Kancur dan Mandiwarah menyebelah Gunung Tunggul Buta terus kepada pahalatan (garis batas pemisah) Riyam Kanan dan Riyam Kiwa dan pahalatan (garis batas pemisah) Riyam Kanan dengan Tamunih yaitu Kusan.
Kemudian aku memberi Keris namanya Abu Gagang kepada cucuku.
Kemudian lagi aku memberi pula suatu desa namanya Margasari dan Muhara Marampiyau dan terus di Pabaungan ke hulunya Muhara Papandayan terus kepada desa Batang Kulur dan desa Balimau dan desa Rantau dan desa Banua Padang terus ke hulunya Banua Tapin.
Demikianlah yang berikan kepada cucuku adanya.
Syahdan maka adalah pemberianku yang tersebut di dalam ini surat kepada cucuku Andarun Hidayatullah hingga turun temurun anak cucunya cucuku Andarun Hidayatullah serta barang siapa ada yang maharu biru maka yaitu aku tiada ridho dunia akhirat.
Kemudian aku memberi tahu kepada sekalian anak cucuku dan sekalian Raja-raja yang lain dan sekalian hamba rakyatku semuanya mesti me-Rajakan kepada cucuku Andarun Hidayatullah ini buat ganti anakku Abdur Rahman adanya.
Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar (24 September 1526 s.d 11 Juni 1860) adalah kesultanan yang terdapat di Kalimantan Selatan. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Sejarah
Di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :
- Keraton I disebut Kerajaan Kuripan/Kerajaan Tanjung Puri
- Keraton II disebut Kerajaan Negara Dipa
- Keraton III disebut Kerajaan Negara Daha
- Keraton IV disebut Kesultanan Banjar
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para Pangeran juga berambisi sebagai pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi putra Sukarama menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Raden Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam keselamatannya, tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan Daha, ia berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan regalia kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasih. Setelah mengalami masa peperangan dimana Banjar mendapat bantuan dari daerah pesisir Kalimantan dan Kesultanan Demak. Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan beralih kepada Pangeran Samudera yang menjadi menjadi Sultan Banjar yang pertama, sementara Pangeran Tumenggung mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu penduduk.
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda.
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir. Pada daerah-daerah pecahan tersebut, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Wilayah
Teritorial Kerajaan Banjar dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
Wilayah kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Mempawah sampai ke negeri Berau.
Daerah Martapura merupakan wilayah pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
Wilayah teritorial yang kedua terdiri dari :
- Tanah Laut atau tanah rendah, sebelah Barat Meratus, sebelah Selatan Banjarmasin.
- Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Banjarmasin.
- Banua Ampat, yaitu daerah Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung di daerah Rantau.
- Margasari
- Alay
- Amandit
- Banua Lima yang terdiri dari daerah Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua
- Muarabahan
- Dusun, nama umum untuk daerah atas Barito.
Teritorial ketiga (daerah pengirim upeti) terdiri dari :
- Tanah Bumbu, Pulau Laut, Karasikan (Kersik Putih?), Pasir, Kutai, Berau dan pantai sebelah Timur
- Kotawaringin, Sukadana (Lawai), Landak, Sanggau, Sintang, Mempawah, Sambas dan pantai sebelah Barat.
Sistem Pemerintahan
- Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
- Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
- Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
- Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti di masa Hindia Belanda.
- Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
- Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
- Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
- Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
- Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
- Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
- Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman dan pedusunan
- Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
- Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
- Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
- Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
- Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
- Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
- Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
- Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan di masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
- Mangkubumi
- Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
- Mantri Jaksa
- Tuan Panghulu
- Tuan Khalifah
- Khatib
- Para Dipati
- Para Pryai
- Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu.
- Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
- Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
- Dalam hierarki struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
- Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
- Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
- Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
- Penghulu : hakim rendah
- Lurah : langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
- Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
- Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
- Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
- Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
- Sebutan Kehormatan
- Sultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
- Gubernur Jenderal VOC : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
- Permaisuri disebut Ratu.
- Putra raja bergelar Pangeran.
- Putri Raja bergelar Ratu
Sultan Banjar
No. | Masa | Sultan | K e t e r a n g a n | |
1 | 1520-1550 | Sultan Suriansyah | *Raja pertama Kesultanan Banjar yang mendirikan kerajaannya di Kampung Banjarmasih (Kuin), memeluk Islam 24 September 1526, gelar anumerta Sunan Batu Habang, beliau cucu Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah. Dalam agama lama, beliau dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang. | |
2 | 1550-1570 | Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah | Gelar anumerta : Panembahan Batu Putih. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah | |
3 | 1570-1595 | Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah | Gelar anumerta : Panembahan Batu Irang. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah ; | |
4 | 1595-1620 | Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah | Gelar lain : Pangeran Kacil/Panembahan Marhum/Mustakim Billah/Musta Ayinubillah/Mustain Allah/Mustain Ziullah/Raja Maruhum. Gelar anuemrta Marhum Panembahan /Tahun 1612 memindahkan ibukota ke Martapura. Oleh Suku Dayak yang menghayati Kaharingan baginda dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang | |
5 | 1620-1637 | Sultan Inayatullah bin Mustainbillah | Gelar lain : Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura. Adiknya, Pangeran Dipati Antakusuma mewarisi wilayah sebelah barat kerajaan menjadi sebuah kepangeranan yang dikenal sebagai Kerajaan Kotawaringin | |
6 | 1637-1642 | Saidullah bin Sultan Inayatullah | Gelar lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah. | |
7 | 1642-1660 | Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Inayatullah | Gelar lain :Pangeran Tapasana/Pangeran Mangkubumi/Rakyat Allah/Panembahan Sepuh/Tahalidullah/Adipati Halid/Pangeran Dipati Tuha memegang jabatan sebagai Wali Sultan dengan gelar Pangeran Ratu kemudian memakai gelar Sultan Rakyatullah. Pada tahun 1660 menyerahkan tahta kepada kemenakannya Amirullah Bagus Kesuma yang merupakan Putra Mahkota anak dari Sultan Saidullah. | |
8 | 1660-1663 | Sultan Amirullah Bagus Kusuma bin Sultan Saidullah | * Nama lain : Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning | |
9 | 1663-1679 | Pangeran Surya Nata II bin Sultan Inayatullah (Sultan Agung) | * Mengkudeta kemenakannya Amirullah Bagus Kasuma dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin). Berbagi kekuasaan dengan Sultan Rakyatullah yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar lain : Pangeran Dipati Anom. | |
10 | 1680-±1700 | Sultan Amirullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah | * Naik tahta kedua kalinya setelah merebut kembali dari Sultan Agung | |
11 | ±1700-1734 | Sultan Hamidullah bin Tahmidullah I | Gelar lain : Sultan Kuning | |
12 | 1734-1759 | Sultan Tamjidullah I bin Tahmidullah I | Bertindak sebagai wali Putra Mahkota Muhammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya | |
13 | 1759-1761 | Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah | * Mengkudeta pamannya Sultan Tamjidullah I. Gelar lain : Sultan Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata sebagai wali Putra Mahkota. | |
14 | 1761-1801 | Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I | * Semula sebagai wali Putra Mahkota, tetapi mengangkat dirinya sebagai Panembahan Kaharuddin Halilullah. Gelar lain : Susuhunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin Abdullah(1762)/Sulaiman Saidullah(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan Anum. Mengadakan kontrak dengan Hindia Belanda tahun 1787 untuk menghadapi Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan suku Bugis-Paser yang gagal, kemudian dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka | |
15 | 1801-1825 | Sultan Sulaiman Saidullah bin Tahmidullah II | * Mendapat gelar Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Trah keturunannya yang lain menjadi raja di Kerajaan Kusan, Batoe Litjin dan Poelau Laoet | |
16 | 1825-1857 | Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al Mutamidullah | * Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Ketika mangkatnya terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu Pangeran Prabu Anom, Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran Hidayatullah II, Belanda sebelumnya sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 dan kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar, sehari kemudian Pangeran Tamjidillah II menandatangani surat pengasingan kandidat sultan lainnya pamannya sendiri Pangeran Prabu Anom ke Jawa. Sebelumnya almarhum Sultan Adam telah membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya | |
17 | 1857-1859 | Sultan Tamjidullah Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam | *Pada 3 November 1857 diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor. | |
18 | 1859-1862 | Sultan Hidayatullah II bin Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam | * Hidayatullah II satu-satunya pemimpin negeri Banjar sesuai wasiat Sultan Adam. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar, Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur | |
19 | 1862 | Pangeran Antasari bin Pangeran Mas'ud bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah | * Pada 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman Barito, Murung Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu, karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin. | |
20 | 1862-1905 | Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari | * Pemerintahan Pagustian, bersama Gusti Muhammad Said meneruskan perjuangan Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda, gugur 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan. |
DALAM Bahasa Banjar, kata "Panting" mengandung banyak arti. Salah satunya adalah duri ikan yang mengandung racun. Namun, yang kita bicarakan disini bukan masalah duri ikan. Melainkan, tentang sebuah alat musik yang diberinama alat musik "Panting". Dalam hal ini, "Panting" berarti petik. Yaitu, membunyikan senar dengan teknik sentilan.
Mengenai kapan lahirnya musik "Panting", sampai sekarang belum didapatkan data tertulis. Tapi, menurut tuturan lisan yang berkembang di pedesaan dan kampung-kampung di Kalimantan Selatan, musik "Panting" sudah ada sebelum zaman penjajahan. Atau lebih kurang pada abad ke-18. Pada masa itu, musik "Panting" digunakan untuk mengiringi tarian Japen dan Gandut.
Dalam periode tersebut, musik "Panting" diiringi dengan istrumen lain seperti babun, gong, suling, dan rebab. Tapi setelah biola masuk ke Kerajaan Banjar, maka kedudukan rebab digantikan oleh biola.
Di masa awal dan tahap perkembangannya, "Panting" hanya memiliki tiga buah tali.atau senar. Dimana masing-masing senar punya fungsi tersendiri. Tali pertama disebut pangalik. Yaitu tali yang dibunyikan untuk penyisip nyanyian atau melodi.
Tali kedua, disebut panggundah atau pangguda yang digunakan sebagai penyusun lagu atau paningkah. Sedang tali ketiga disebut agur yang berfungsi sebagai bass.
Tali "Panting" pada masa lalu dibuat dari haduk hanau (ijuk), serat nenas, serat kulit kayu bikat, benang mesin, atau benang sinali.
Tapi sekarang, karena lebih mudah didapatkan, ditambah lagi dengan bunyinya yang jauh lebih merdu, benang nilon tampak lebih banyak digunakan. Atau, ada pula yang menggunakan tali kawat dengan empat bentangan pada badan "Panting".
Kemunduran musik "Panting" terjadi pada jaman penjajahan Jepang. Waktu itu, musik "Panting" jarang sekali dipergelarkan. Wajar saja, karena pada waktu itu, setiap orang harus berjuang keras untuk mempertahankan hidup. Termasuk puluhan tahun setelah Jepang meninggalkan Indonesia.
Tahun 1984 merupakan tahun yang sangat menentukan bagi kehidupan musik "Panting". Ketika itu, para seniman melakukan penelitian terhadap musik ini di daerah Kabupaten Tapin.
Dari hasil penelitian, dinyatakan bahwa musik "Panting" masih layak untuk diangkat kembali ke permukaan. Segala sesuatu pun dipersiapkan. Lagu-lagunya direnovasi dan diganti dengan lagu-lagu Banjar yang sudah diaransement ulang sedemikian rupa.
Setelah dibenahi secukupnya dengan tidak meninggalkan esensi sebagai suatu musik tradisi, di tahun 1984 itu juga, musik "Panting" diujicobakan ke festival musik daerah se-Indonesia.
Hasilnya sangat memuaskan sekaligus mengejutkan. Musik pantng berhasil menduduki peringkat 10 besar musik-musik Nusantara. Sejak saat itu, pembinaan terus ditingkatkan. Hingga pada akhirnya, lahirlah grup-grup musik "Panting" di seluruh penjuru Kalimantan Selatan seperti sekarang ini. Mari terus kita kembangkan dan lestarikan kesenian khas daerah kita. (ril/*)
Mitos seputar Musik Panting
Punya Daya Tarik Bila Diberi Azimat
Dentingan "Panting", keprakan "Babun", sayatan biola, tiupan suling, dan pukulan gong yang dimainkan bersamaan, menjadi sebuah harmonisasi musik yang sangat nikmat untuk didengarkan. Irama melayunya tanpa sadar membuat badan bergoyang.
Menurut kepercayaan masyarakat pembuat "Panting", "Panting" akan mempunyai daya tarik yang hebat apabila ia diberi azimat. Karena itu, pada masa lalu, pembuat "Panting" selalu memasukkan sesuatu ke dalam perut "Panting" sebelum "Panting" diselesaikan.
Azimat-azimat tersebut antara lain tambang lirang, yaitu semacam guna-guna. Menurut kepercayaan para pembuat "Panting", Tambang Lirang dapat membuat penggemar dan penonton jadi tergila-gila terhadap musik "Panting". Sehingga, mereka selalu ingin menontong pertunjukan musik "Panting". Tambang Lirang menumbuhkan kerinduan penonton terhadap bunyi yang didengarnya sangat merdu.
Azimat lainnya adalah Bunga Kenanga. Dalam hal ini, bunga kenanga dimaksudkan agar penonton menyukai musik "Panting" dan merasa rindu dendam manakala tidak mendengar "Panting" di sentil orang.
Selain itu, ada pula Sumbaga yang bertujuan agar penonton terpesona terhadap gelaran bunyi "Panting", serta tulisan tertentu yang bertujuan agar penonton terpukau mendengar bunyi "Panting".
Di kalangan Pemantingan dikenal pula adanya datu-datu pemelihara "Panting". Menurut kepercayaan, datu itu biasa memberikan bobot bunyi yang sangat merdu. Beberapa datu yang paling dikenal adalah Datu Lampai, Datu Bangkala, Datu Kalambahai, Datu Kundarai, Datu Ujung, dan Datu Lampai Sari yang merupakan satu-satunya datu perempuan.
Di masa dulu, jika "Panting" mau dimainkan di tengah banyak orang, terlebih dahulu di panggil datu-datu tersebut dengan cara membakar kemenyan dan meletakkan "Panting" di atas asap kemenyan tersebut.
Dalam hal bentuk, "Panting" mempunyai perbedaan-perbedaan. Karena adanya perbedaan tersebut, maka muncullah nama-nama "Panting". Beberapa nama yang sempat diinventarisir adalah Lalai Gajah, Putri Kurung, Putri Manjanguk, Mayang Bungkus atau Mayang Marakai, Sari Dewi, dan Si Runtuh Palatar.
Di antara sekian jenis tersebut, yang paling banyak digunakan adalah Lalai Gajah dan Putri Kurung. Sementara yang paling jarang adalah Mayang Marakai. Sebab, ada yang mengasumsikan bahwa apabila menggunakan "Panting" jenis tersebut, maka grup pemain bisa rakai atau terpecah belah.
Tapi terlepas dari unsur magis tersebut, alunan atau harmonisasi musik "Panting" memang enak untuk didengarkan dan dinikmati. (ril/*)
Salah Satu Lirik Lagu Musik Panting
"Lamunnya kada bisa manyanyi-akan, batakunai dulu lawan nang bisa...he...he..."
Alahai Sayang
Cipt. NN
Itam itam maritam buahnya manis 2x
Mulai bakambang luruh sakaki 2x
Ahai....alahai sayang 2x
Biar hirang lamunnya 'ku pandang manis 2x
Sakali 'ku pandang cucuk di hati 2x
Ahai.....alahai sayang 2x
Itam itam tampuknya tampuk palawi 2x
Batanglah kamuning luruh kambangnya 2x
Ahai.....alahai sayang 2x
Biar hirang panggawi tapi panggawi 2x
Awak putih kuning apa gunanya 2x
Ahai.....alahai sayang 2x
Anak lalat ya guring, guring bagantung 2x
anak-anak warik manyanyiakan 2x
Ahai.....alahai sayang 2x
Kada harat rupanya lamun bauntung 2x
Kalakuan baik lagi baiman 2x
Ahai.....alahai sayang 2x
Hura ahui ahui ahui hura ahui 2x
Banih ditambat daunnya cundai ala sayang 2x
Banih di tabing tangkainya karing 2x
Banih angkat ka dalam kindai 2x
Ambillah panting kita banyanyi 2x